Menjelang Akhir Ramadhan


Akhirnya gue bisa merasakan nikmatnya berkumpul, sahur dan buka puasa bareng dengan keluarga secara lengkap di kampung halaman, setelah hampir sebulan penuh terkatung-katung ga jelas di kampung orang bagaikan anak ilang.
Moment seperti ini merupakan salah satu moment terindah bersama keluarga yang ga bisa dibeli dan sekarang sudah mulai susah didapatkan. Pasalnya gue sudah berkeluarga dan tinggal di luar negeri kuliah jauh di Jakarta, ade gue yang ke-dua mesantren di Cianjur.

Mudik dan Macet
Mudik adalah ritual yang dilakoni oleh warga muslim Indonesia pada khususnya menjelang lebaran. Sekedar info aja mudik adalah singkatan dari ‘mulih ke udik’, mulih = pulang dan udik = kampung, yang artinya sama dengan pulang kampung.
Begitupun dengan gue, setelah 2 tahun resmi menjadi warga Jakarta gue merasakan yang namanya (beneran) mudik. Ke kampung halaman sendiri tentunya :)
Mudik selalu identik dengan macet, karena pada saat mudik volume penumpang dan kendaraan pastinya bertambah dengan pesat.
Untungnya gue mudik H-4 menuju lebaran. Gue memprediksikan jalanan belum terlalu padat dengan kendaraan, namun gue meyakini penumpang di terminal udah bejibun ga ketulungan.

Dan kemarin begitu mau mudik, dengan sangat cerdasnya gue dan ade gue yang pertama (kebetulan ade gue ke Jakarta) melakukan sesuatu yang diluar kebiasaan banyak orang, menunggu kedatangan bis kedatangan bis Parung Indah jurusan Sukabumi – Lebak Bulus jauh di luar terminal.
Alhasil, kita berdua bisa dengan nyamannya duduk manis. Karena kalo naik bis di terminal sudah dipastikan akan jadi rebutan orang-orang yang sudah dengan setia menunggu. Dan benar saja itu terbukti! :)
Banyak yang lari-larian, berebut desek-desekan dan akhirnya rela berdiri karena kepenuhan. Bis AC dan berukuran ¾ ini selalu menjadi kendaraan favorit saat pulang kampung ke Sukabumi, meskipun menjelang lebaran ongkosnya naik. Yah memang sudah lumrah ini mah dimana-mana.

Ramadhan di kampung halaman
Flashback ke zaman kecil gue dulu, kalo abis terawehan di kampung gue para kaum bocah langsung lari-larian keluar mesjid, ada yang mukul bedug, maen perang sarung dan yang paling ditunggu-tunggu nyalain petasan. Dan gue yakin hal kayak gitu ga jauh berbeda di daerah lainnya.
And now... gue sangat rindu suasana (bandel) seperti itu, juga rindu temen-temen gue kecil yang kini keberadaannya ga jelas entah dimana :’)

Sekarang ini adalah penghujung bulan Ramadhan tahun ini. Soal penetapan Idul Fitri gue ga mau ambil pusing, diluar sana orang-orang rame ngeributin soal lebaran yang belum kunjung jelas kapan waktunya, antara besok dan lusa. Itu ga jadi masalah buat gue. Kita liat saja nanti pengumuman resminya dari pemerintah.
Perasaan senang dan sedih bercampur menjadi satu. Senang sebentar lagi kita menuju hari kemenangan, sedih karena Ramadhan yang penuh berkah ini akan segera kita tinggalkan.
Semua rutinitas, ritual harian dan aktivitas lainnya di bulan puasa akan segera berganti. Kita akan menghadapi bulan yang ga ada lagi bukber, sanlat, terawih, ngabuburit, sahur dan kegiatan yang menjadi ciri khas bulan Ramadhan.
Berbeda dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, biasanya di meja ruang tamu toples-toples sudah penuh dengan kue-kue kering, sibuk bikin ketupat, beres-beres rumah, sibuk beli baju lebaran dan ini-itu yang lain untuk menyambut hari kemenangan ini. Namun penyambutan lebaran kali ini sederhana saja, tapi yang penting esensi dari lebaran tetep dapet :)
Okee...Semoga di tahun-tahun berikutnya kita bisa bertemu lagi dengan bulan Ramadhan dan bisa lebih baik lagi :’)

Raport Ramadhan
Ramadhan kali ini gue bisa dibilang masih jauh dari rajin. Tadarus gue hanya mampu finish di juz 2 dan teraweh hanya bisa melaksanakan kurang lebih setengahnya. Tapi acara bukber gue sepertinya khatam dimana-mana loh! Ahaha
Flashback (lagi) pas zaman gue di pondok dulu, dalam satu bulan rekor yang pernah gue catat adalah bisa mengkhatamkan Quran sebanyak 3 kali *alhamdulillah yah* dan teraweh udah seperti ibadah wajib dan ga ada bolong men!

0 komentar:

Posting Komentar