Hari sabtu siang tadi saya ke kampus tercinta untuk memenuhi panggilan rapat PROPESA (ospek) jurusan. Padahal baru saja kemaren kita mengadakan rapat. Posisi saya di kepanitian adalah kakak pembimbing atau disingkat kambing.
Yang bikin saya agak gedek (mungkin yang lain merasa seperti itu), pemberitahuan rapatnya itu loh yang mendadak. Baru tadi saat sahur sekitar jam 4 dikasih kabar via SMS.
Katanya sih ada hal yang penting!!! (pake tanda seru 3 biji). Hmm, jadi penasaran! Sepenting apa sih memangnya??
Begitu saya sampe kampus, terlihat beberapa temen sudah membentuk lingkaran. Jumlahnya tidak lebih banyak dari rapat kemarin (karena dadakan dan hari sabtu pula). Mereka sedang antusias sekali berdialog satu sama lain, seperti ada hal yang ‘menarik’.
Tenyata benar. Ada isu yang tak sedap tengah terjadi. Saya dibisiki oleh teman sebelah saya, bahwa PROPESA tahun ini akan dipegang langsung oleh pihak rektorat. Lho kok bisa?! Jika hal demikian benar, maka akan banyak sekali masalah yang akan terjadi.
Ceritanya begini. Sahabat saya di PMII, kemarin malam mengikuti sebuat rapat di Cabang PMII Ciputat. Kronologisnya memang tidak secara detail dijelaskan. Tapi yang pasti, disana hadir Purek (Pembantu Rektor) bagian kemahasiswaan. Beliau memberitahukan bahwa PROPESA tahun ini akan dipegang oleh pihak rektorat kemudian diserahkan ke bagian dekanat untuk ditindaklanjuti. Katanya, pada waktu sempat terjadi beberapa sanggahan dari teman-teman mahasiswa yang hadir, namun akhirnya tetap pupus. Purek mengatakan bahwa tidak ada aturan yang menjelaskan bahwa PROPESA itu di pegang oleh BEM atau mahasiswa. Informasi yang saya tangkap kurang lebih seperti itu.
Kemudian dialog berlanjut dengan meminta pandangan, pendapat, solusi dan juga langkah apa yang harus ditempuh untuk menyikapi isu tersebut. Banyak yang angkat bicara mengemukakan pendapatnya, tapi jumlahnya masih kalah banyak dibanding yang diam dan nge-junk. Ketika dimintai pendapat pun saya hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Tak ada gairah bicara.
Jika toh ini benar, saya berpikran sangat jauh sebenarnya kampus ini arahnya sedang dibawa kemana sih?! Ini itu rektorat yang megang? Segala kebijakan ini itu, rektorat yang menentukan.
Sampai pada PROPESA pun rektorat yang urus. Itupun kabarnya kegiatan hanya berisi materi yang akan disampaikan oleh pihak rektorat, dekanat dan dosen. Sungguh tidak menarik. Bahkan dulu sempat terdengar kabar bahwa beberapa organisasi kampus akan dihilangkan!
Menurut saya, mereka mendidik mahasiswa menjadi pribadi yang kurang berkembang dari segi mentalitas berpikir. Mereka hanya mendapat materi kuliah yang sebetulnya bisa dicari sendiri diluar sana dan sudah banyak di buku-buku dengan kualitas bagus di perpustakaan. Mereka seolah dituntut untuk menjadi manusia yang pintar dalam hal akademik saja.
Selain akademik, yang dibutuhkan oleh mahasiswa adalah pengalaman. Pengalam mereka dalam menangani sebuah kegiatan (contohnya kepanitian PROPESA ini). Karena di situ mereka akan banyak belajar berbagai hal diluar akademik. Kegiatan seperti ini akan mengikat emosi antar mahasiswa, sehingga timbul kedekatan dan keakraban. Di kampus mereka tidak akan merasa monoton, karena teman-teman satu pengalaman mereka banyak. Selain itu kegiatan kepanitiaan seperti ini juga akan merubah pola pikir atau mindset mahasiswa menjadi sosok yang lebih dewasa. Karena dalam berorganisasi (kegiatan adalah contoh organisasi kecil), kita akan dihadapkan dengan yang pengambilan keputusan. Bagaimana keputusan harus diambil secara arif, bijak dan tepat.
Saya heran katanya kampus saya adalah ‘kampus peradaban’. Berarti semua yang berkaitan dengan ‘dunia kampus’ seharusnya kontemporer dan moderat. Tapinya nyatanya masih saja kaku dan konservatif alias kolot.
Saya pernah menyoroti jejak rekam jajaran dekanat yang ‘bersikap’ seenaknya saja tanpa memperdulikan kepentingan mahasiswa. Banyak yang terjadi dan keputusannya kerap kali membuat mahasiswa kecewa. Citra mereka menjadi semakin terlihat tidak bagus di mata mahasiswa.
Mahasiswa bukanlah anak kecil yang masih harus dikelonin. Mahasiswa adalah agent of change, agen perubahan. Yang seharusnya diberi banyak kesempatan untuk berapresiasi di kampus. Pihak kampus (rektorat, red) seharusnya berperan sebagai fasilitator. Biarlah mahasiswa belajar mandiri untuk membentuk jiwa dan karakter mereka. Mahasiswa yang berkuliatas akan lahir dari kampus yang berkualitas juga. Universitas (kampus) merupakan jantung pendidikan di sebuah negara.
Masih banyak yang harus mereka (pihak kampus) kerjakan, untuk membawa kampus ini jauh lebih baik. Dalam interval waktu yang cukup panjang, pelayanan kampus terhadap mahasiswa masih terasa minim, sistem administrasi masih kacau, layanan akademik masih carut marut dan masih banyak hal lain yang dirasa masih kurang memuaskan. Mengurusi hal tersebut saja sepertinya belum becus. Itu yang seharusnya mereka urus dan benahi, bukan malah ikut campur terlalu dalam atau bahkan memegang kendali secara penuh sesuatu yang seharusnya sudah menjadi hak mahasiswa untuk membimbing calon adik kelasnya untuk mengenal lebih dekat dunia kampus. Walaupun memang tidak ada aturan resmi yang tertulis yang bisa dijadikan pedoman.
Secara emosi mungkin jauh akan lebih baik jika mahasiswa yang mengenalkan secara langsung dunia kampus yang sebenarnya seperti apa. Karena mahasiswa yang sudah lebih dulu berkuliah, sudah lebih dulu mengecap asam garamnya dunia kampus.
Lagi-lagi kembali saya tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka. Timbul beberapa pertanyaan. Apakah mereka tidak percaya lagi pada mahasiswa? Apakah mereka tidak ingin terusik karena berada di zona aman? Apakah mereka akan merubah arah kampus ini? Apakah mereka ingin melebarkan sayap ke ranah lain yang sebetulnya bukan urusan mereka? Apakah mereka takut pada mahasiswa yang pintar berorganisasi? Apakah mereka takut diprotes dan didemo oleh mahasiswa yang punya mentalitas pejuang? Ahh pengecut!
Pertanyaan lain. Apakah mereka pikir mahasiswa sekarang tinggal belajar yang benar, mendapat prestasi akademik yang bagus dan lulus tepat waktu? Menurut saya itu salah! Mahasiswa yang lulus nanti diharapkan memiliki kematangan emosional, mempunyai skill, mempunyai pengalaman organisasi yang mumpuni apalagi kalo ditambah dengan nilai-nilai yang memuaskan yang ada pada ijazah kelulusan. Itu baru yang namanya cumlaude sebenarnya.
Akan menjadi manusia seperti apa mahasiswa seperti ini jika sudah lulus? Kuliah seakan tak ada kesan kalo seperti ini. Tidak jarang mereka yang lulus merasa kaget dengan dunia luar yang mereka hadapi.
Perjuangan masih panjang. Lanjutkan kawan!
0 komentar:
Posting Komentar